Dia adalah Rita Rahmat, Direktur perusahaan komunikasi dan media relation Aircomm. Ia menuturkan awal mula kisahnya mengenal Allah ketika saat dia berada di titik terendah.Usahanya bangkrut, dan musibah datang bertubi-tubi. Ia mengurung diri di kamar, merenung. Rita kehilangan kepercayaan pada Tuhan. Daripada bingung berdoa pada banyak Tuhan, katanya, maka ia memutuskan 'berhenti' beragama. "Saya menyembah dan percaya pada Tuhan Sang Maha Pencipta, tapi tanpa agama," katanya.
Ia memutuskan pergi dari Jakarta, menggarap tawaran proyek kecil di Pulau Bintan.Walau diakuinya, pekerjaan itu tak terlalu menolong secara ekonomi.
Bahkan, ia pernah pulang ke Jakarta dari Bintan, dalam kondisi tak punya sepeser uangpun, dan terdampar di bandara Changi pula, karena tertinggal pesawat. Namun kini ia menyadari, itulah cara yang diatur oleh-Nya untuk hidup dalam tuntunan Islam.
Dengan uang seadanya hasil pengembalian tiket, ia menyeberang ke Batam. Baru keesokan harinya ia kembali ke Jakarta dengan penerbangan berikutnya.
Jalan pulang yang dilalui, tidaklah mulus. Cuaca buruk, pesawat bergetar hebat. Penumpang panik, termasuk Rita. "Saya berpikir tentang kematian. Bagaimana jika saya mati dan tak beragama?" ia mengisahkan pada Republika , Rabu Siang.
Tiba-tiba ia teringat Islam yang ajarannya sempat mencuri perhatiannya beberapa bulan terakhir. "Saya bersumpah dalam hati, jika pesawat berhenti terguncang, maka saya akan masuk Islam," ujarnya. Tak menunggu sampai semenit, seketika itu juga pesawat kembali tenang.
Rita bersyukur. Namun, ia menyesali dengan sumpah yang dia ucapkan sebelumnya, dan mencoba meralatnya, dengan berusaha menyakinkan dirinya bahwa guncangan itu adalah akibat cuaca buruk, dan kini guncangan itu terhenti karena cuaca telah membaik, bukan merupakan campur tangan Allah.
"Sesaat saja setelah pikiran itu terlintas, mendadak pesawat kembali terguncang, lebih hebat. Seketika itulah saya menyadari, Saya manusia lemah, ada yang lebih berkuasa atas saya. Islam, itu yang ada dalam benak hati saya," katanya, yang menyakinkan dirinya bertekad untuk menjadi Muslim. Ia ingat, kejadian waktu itu menunjukkan pukul 17.35, di penghujung tahun 1999. Ia pulang karena untuk menghormati keluarga besarnya yang merayakan Natal.
Sampai di Jakarta, Rita belajar tentang Islam. Hingga ia mantap untuk bersyahadat, dan menghadiahkan Islam bagi dirinya sendiri, di hari ulang tahunnya, 2 April.
Masuk Islamnya terjadi di Masjid Agung Al Azhar Jakarta. Ia Bertemu dengan seorang guru mengaji di lantai dua yang tengah mengajar seorang ibu dengan anak gadisnya, ia mengutarakan niatnya. Sang guru mengaji menyarankan untuk menunggu hingga Maghrib. "Namun saya minta bersyahadat saat itu juga, dan dia menuntun saya," ujarnya. Ia bersyahadat disaksikan dua orang yang ada di situ. Ia melihat arlojinya, jarum jam menunjukkan pukul 17.35. "Waktu yang sama dengan saat saya bersumpah akan masuk Islam." tuturnya.
Maghrib menjelang, ia terharu ketika banyak mualaf berdatangan, menyalaminya. Ia melakukan shalat pertamanya, berjamaah. "Saya dituntun berwudhu, diajari sebentar tentang shalat. Karena saya hanya bisa membaca Al Fatihah, itulah yang saya baca sepanjang shalat," kenangnya.
Pulang dari Al Azhar, ia pergi ke Melawai, membeli perlengkapan shalat.
Hal terberat adalah ketika memberitahu keluarga tentang keislamannya. Ibunya terdiam, dan menyodorkan Injil padanya. Ia menggeleng. "Saya sudah memutuskan Islam, tapi walau begitu saya tetap Rita anak mama." tutur rita. Sang ibu menunduk, meneteskan air mata.
Demi menghormati sang mama, saat ibunya itu berkunjung. Rita selalu pergi ke masjid jika hendak menunaikan shalat, "Saya tak ingin frontal di depan mama," ujarnya.
Namun ia selalu meyakinkan ibunya, bahwa Islam adalah pilihan hatinya. Lama-lama hati sang mama luluh. Dua bulan kemudian, ia harus kehilangan papanya, berpulang ke alam baka.
Rita berkisah, ajaran Islam tentang berbaik sangka benar adanya. Apalagi berbaik sangka pada nikmat Allah. ia kerap menemukan 'keajaiban' berbaik sangka ini.
Salah satunya, saat ia berniat umrah Ramadhan. "Daripada berlebaran di Jakarta seorang diri, mending saya berumrah dan berlebaran di sana," katanya.
Namun, pendaftaran telah ditutup. Pemilik biro malah menyarankan untuk berhaji. "Saya tak punya uang," katanya.
Namun, saran pemilik biro menyarankan untuk mengisi melaukan pendaftaran berkas untuk berhaji,kemudian menyerahkannya kembali. "Toh kamu bisa batal seandainya urung," katanya. "Niat saya ke Tanah Suci baik, insya Allah, Allah memberi jalan."
Tak disangka, sepulang dari biro haji, ia ditelepon stafnya. Proposal proyeknya berhasil, dan ia mempunyai sisa uang lebih untuk melunasi ongkos haji.
Rita memandang hidup bak puzzle. Saling terangkai. Ibadah haji pulalah yang mengantarkannya pada jodohnya saat ini, Hari Rahmat. "Dua bulan berkenalan, kami menikah," ujarnya.
Menurut Rita, hidup akan mudah jika selalu berbaik sangka. Ia juga memegang teguh satu filosofi lain: "Mudahkan orang lain, maka Allah akan memudahkan urusan kita."
"Bantulah siapa saja, tak usah melihat latar belakangnya," kata dia yang mengaku hubungannya dengan keluarga tetap terjalin baik hingga saat ini.
"Kuncinya saling menenggang, saling bertoleransi," ujar ibu satu anak yang kini aktif sebagai relawan di sebuah lembaga nirlaba yang peduli pada penderita lupus ini.
republika,
------------------------------------------------------------------------------------------
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي التَّيَّاحِ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَسَكِّنُوا وَلَا تُنَفِّرُوا
Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Abu At Tayyah dia berkata; saya mendengar Anas bin Malik radliallahu 'anhu berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Mudahkanlah setiap urusan dan janganlah kalian mempersulitnya, buatlah mereka tenang dan jangan membuat mereka lari."
(HR Bukhari dan Muslim dengan jalur sanad berbeda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar